Senin, 14 Maret 2011

PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH INDIVIDU DAN PENGUASA SERTA KEBIJAKSANAAN PENGUASA YANG TIDAK DAPAT DIGUGAT


PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH INDIVIDU DAN
PENGUASA SERTA KEBIJAKSANAAN PENGUASA
YANG TIDAK DAPAT DIGUGAT
Oleh : Erman Rajagukguk

Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata.
Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian
mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata berasal
dari Code Napoleon.
Molegraaff menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum tidak hanya
melanggar undang-undang akan tetapi juga melanggar kaedah kesusilaan dan kepatutan.
Pada tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan Perbuatan Melawan Hukum dalam arti
luas pada perkara Lindenbaum v. Cohen dengan mengatakan Perbuatan Melawan
Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan :
a. Hak Subyektif orang lain.
b. Kewajiban hukum pelaku.
c. Kaedah kesusilaan.
d. Kepatutan dalam masyarakat.1
Perbuatan Melawan Hukum dapat dilakukan baik oleh individu maupun penguasa.
Namun kebijaksanaan yang diambil penguasa untuk kepentingan umum tidak dapat
digugat. Paragraph-paragraph berikut ini akan menguraikan hal tersebut dalam putusanputusan
pengadilan Indonesia. Kitab Undang-Undang adalah law in book, putusan
pengadilan adalah law in action.

Perbuatan Melawan Hukum Oleh Individu Atau Badan Hukum
Dalam perkara Lim Keng Eng v. Oey Wie Lay, No. 104 K/Sip/1968 (1969),
bermula dari gugatan Oey Wie Lay sebagai Penggugat menggugat Lim Keng Eng.
Dalam gugatannya Oey Wie Lay menyatakan sejak 1932 mulai dengan ayah Penggugat
adalah penyewa dari persil berikut rumah dan pekarangannya yang terletak di Gang Eng
Soen No. 209 Palmerah, Jakarta, yang dipakai sebagai tempat tinggal dan
perusahaannya (pembatikan). Menurut Penggugat, pada tanggal 23 November 1962
pagar pekarangan persil yang disewa oleh Penggugat tersebut dirusak oleh Tergugat dan
selanjutnya ia menyerobot masuk dan memasang patok di dalamnya dengan maksud
membuat bangunan secara tanpa hak di atas tanah pekarangan itu. Dalam jawabannya,
Tergugat mengajukan gugatan rekonvensi, dengan alasan bahwa berdasarkan perjanjian
sewa-menyewa tanggal 22 November 1962 Tergugat adalah penyewa yang sah dari
tempat pembatikan dan pekarangan yang kosong yang sekarang menjadi obyek
sengketa. Tergugat sebagai penyewa berhak memperoleh kesenangan yang aman dan
damai, tetapi dalam hal ini Tergugat selalu mengalami dan menemui banyak kesulitan
dan rongrongan dari Penggugat.
Terhadap gugatan-gugatan dari kedua belah pihak tersebut, Pengadilan Negeri
Istimewa Jakarta dalam putusan tanggal 25 April 19662, menolak gugatan Penggugat
dan mengabulkan untuk sebagian gugatan rekonvensi Tergugat, yaitu menyatakan
bahwa Tergugat adalah penyewa yang sah dari tempat pembatikan serta pekarangan
kosong berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa tanggal 22 November 1962. Dalam
tingkat banding Putusan Pengadilan Negeri tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi
Jakarta dengan putusan tanggal 26 Agustus 1967 No. 154/1967/PT.Perdata. Mahkamah
Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, dan
menyatakan bahwa perbuatan Tergugat adalah melawan hukum karena telah merusak
pagar pekarangan persil dan menyerobot masuk serta memasang patok dengan maksud
membuat bangunan secara tanpa hak di atas tanah pekarangan tersebut.
Selanjutnya dalam perkara PO NV Bintang cs. v. Lim Chiao Soen, No. 558
K/SIP/1971 (1973), Lim Chiao Soen menggugat PO NV Bintang cs. dengan alasan
bahwa PO NV Bintang cs. telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dari seorang
pegawainya. Perkara ini bermula dari Tergugat II sebagai karyawan PO NV Bintang yang melakukan pengisian bensin pada kendaraan bermotor tidak melalui pompa
bensin. Sewaktu mengisi bensin pada bis Bintang telah terjadi semburan api pada ember
tempat mengisi bensin, yang mana oleh Tergugat II tersebut dilemparkan ke bawah
kolong bis Indah milik Lim Chiao Soen sehingga bis tersebut terbakar habis.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Tegal dalam putusannya
mengabulkan gugatan Pengugat3, dan menghukum Tergugat secara tanggung
menanggung menyerahkan kepada Penggugat otobis yang macam dan tahun
pembikinannya sama dengan otobis kepunyaan Penggugat yang terbakar, yakni merk
Dodge Cenn Chasis R. 6D 400 157 tahun pembikinan 1960/1961. Pada tingkat banding
putusan Pengadilan Negeri Tegal telah dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi
Semarang dengan putusannya No. 222/1968/Pdt/P.T. Smg. Dalam tingkat kasasi yang
diajukan oleh Para Tergugat, Mahkamah Agung dalam putusannya menolak
permohonan kasasi tersebut. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan
bahwa alasan overmarcht dalam sengketa ini tidak terbukti, setiap orang mengetahui
bahwa mengisi bensin pada kendaraan bermotor tidak melalui pompa bensin adalah
sangat berbahaya. Apabila yang bersangkutan, meskipun mengetahui adanya bahaya
tersebut, tetap mengisi bensin dengan mempergunakan ember (di luar pompa bensin)
maka ia harus menanggung resikonya. Karena kelalaian seorang pegawai PO NV
Bintang dalam pekerjaannya, maka menurut UU dan yurisprudensi tetap, majikan harus
mengganti kerugian yang timbul akibat Perbuatan Melawan Hukum buruhnya.
Pada tahun 1982 dalam perkara Ferdinand Karnagi v. Salim Karinda, No. 684
K/SIP/1982 (1983), Penggugat, Salim Karinda menggugat Ferdinand Karnagi dengan
alasan bahwa Tergugat, Ferdinand Karinandi telah melakukan Perbuatan Melawan
Hukum, yaitu menyerobot dan menggarap kebun cengkeh tanpa sepengetahuan dan
seizing Penggugat. Kebun cengkeh tersebut menjadi milik Penggugat sejak tahun 1969
setelah dijual oleh Tergugat kepada Penggugat dengan cara ditukar dengan seekor sapi
seharga Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah).
Pengadilan Negeri Tondano dalam putusannya No. 302/1979 mengabulkan
gugatan Penggugat untuk sebagian. Oleh karena itu, menyatakan sah tukar menukar
antara Penggugat dan Tergugat atas tanah sengketa yang terjadi tahun 1969, dan
menetapkan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Manado dengan putusannya memperbaiki putusan
Pengadilan Negeri Tondano4. Makamah Agung dalam tingkat kasasi membenarkan
putusan Pengadilan Tinggi Manado, karena Pengadilan Tinggi Manado tidak salah
menerapkan hukum, lagi pula penguasaan tanah sengketa oleh Tergugat telah dilakukan
secara melawan hukum.
Dalam perkara Bima Sentosa cs. v. Herman Kurniadjaya cs., No. 365
K/PDT/1984 (1985), Penggugat, Bima Sentosa cs menggugat Herman Kurniadjaya cs.
Alasannya, bahwa para Tergugat telah melaksanakan pembangunan kompleks
pertokoan/perkantoran di Jalan Raya Mangga Besar No. 38 dan 38A, Jakarta Barat yang
berbatasan langsung dengan rumah/bangunan milik para Penggugat tanpa izin para
Penggugat. Akibat pembangunan tersebut, bangunan-bangunan para Penggugat secara
keseluruhan runtuh dan Tergugat menolak melakukan perbaikan dan memberi ganti rugi
kepada para Penggugat, sehingga para Tegugat telah melakukan perbuatan melanggar
hukum.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No.
477/82 G mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, dan menyatakan bahwa
tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Pengadilan Tinggi Jakarta
dengan putusannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menolak
gugatan para Penggugat. Salah satu pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta
menyatakan, bahwa para pihak tidak lengkap karena Penggugat tidak mengikutsertakan
kontraktor sebagai Tergugat, karena dengan adanya pernyataan dari kontraktor, bahwa
segala akibat dan risiko pembangunan proyek pertokoan dan perkantoran menjadi
tanggung jawab kontraktor, kontraktor tersebut seharusnya ikut digugat.5 Dalam tingkat
kasasi Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta tidak salah
menerapkan hukum.
Keempat putusan tersebut menunjukkan bahwa Perbuatan Melawan Hukum
dilakukan karena tindakan yang tidak patut. Perbuatan Melawan Hukum dilakukan
karena melanggar kesusilaan dicontohkan dalam kasus berikut ini.
Dalam Masudiati v. I Gusti Lanang Rejeg No. 3191 K/PDT/1984 (1986),
Perbuatan Melawan Hukum dilakukan karena melanggar norma kesusilaan. Masudiati menggugat I Gusti Lanang dengan alasan bahwa pada 16 Desember 1981 Tergugat
mendatangi Penggugat di sekolah tempat Penggugat mengajar dan berjanji akan
mengambil Penggugat sebagai istrinya. Sebagai bukti cintanya Tergugat menyerahkan
kepada Penggugat Kartu Taspen, Karpeg, dan sebuah sepeda motor Honda yang masih
baru, disertai janji bahwa setelah Pengugat dibawa lari kawin oleh Tergugat (sejak
tanggal 20 Desember 1981 + jam 21.00) Tergugat akan menikahinya secara adat
maupun secara agama dalam waktu 4 bulan. Akan tetapi, walaupun Penggugat telah
mendesak untuk nikah dengan Tergugat, Tergugat tidak juga mau hingga berlangsung
sampai 1 tahun 4 bulan. Oleh karena itu Penguggat mohon kepada Pengadilan,
menyatakan bahwa karena Tegugat tidak menepati janjinya untuk menikahi Pengggugat
dalam tenggang waktu yang telah dijanjikan oleh Tergugat, maka Tergugat harus
membayar kembali kepada Penggugat segala biaya yang telah dikeluarkan oleh
Penggugat untuk membiayai kehidupan Tergugat bersama orang tuanya termasuk anak
Tergugat selama Tergugat hidup bersama dengan Penggugat tanpa nikah.
Pengadilan Negeri Mataram dalam putusannya No. 073/PN. Mtr/Pdt/1983, antara
lain, mengabulkan gugatan Penggugat sebagian, menyatakan Tergugat tidak menepati
janji untuk menikahi Penggugat, dan menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi
kepada Penggugat sebagai pemulihan nama baik Penggugat sejumlah Rp. 2.500.000,-
(dua juta lima ratus ribu rupiah). Pengadilan Tinggi Mataram dalam tingkat banding
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram. Pada tingkat kasasi Mahkamah
Agung menyatakan Pengadilan Tinggi Mataram telah salah menerapkan hukum dengan
alasan, antara lain, dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini tersebut, Tergugat
telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan perbuatan
Tergugat adalah suatu Perbuatan Melawan Hukum, sehingga menimbulkan kerugian
terhadap diri Penggugat.
Dalam perkara lainnya, Mahkamah Agung R.I berpendapat bahwa pemeriksaan
perkara yang bersangkutan adalah wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan
Pengadilan Negeri. Dalam Perusahaan Umum Listrik Negara C.Q. Perusahaan
Listrik Negara Distribusi Jakarta Raya dan Tanggeran Cab. Jakarta Barat/Kota
v. PT. Bank Antar Daerah Cabang Jakarta, No. 2995 K/PDT/1993 (1997),
Penggugat, PT. Bank Antar Daerah Cabang Jakarta menggugat Perusahaan Umum
Listrik Negara C.Q. Perusahaan Listrik Negara Distribusi Jakarta Raya dan Tanggerang Cab. Jakarta Barat/Kota, dengan alasan bahwa Tergugat telah memutuskan aliran listrik
yang mengakibatkan Penggugat harus segera menyewa disel setiap harinya untuk
menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan dan macetnya peredaran uang
masyarakat. Akibat pemutusan listrik oleh Tergugat, secara sah dan meyakinkan
Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 KUH Perdata yang
dilakukan penguasa terhadap masyarakat umum.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam putusannya No. 339/Pdt.G/1991/PN.Jkt
Brt, antara lain, mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menyatakan
Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Pada tingkat banding
Pengadilan Tinggi Jakarta No. 393/Pdt/1992/PT.DKI menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi antara lain, membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalam
pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa judex factie telah melampaui
batas kewenangan dalam memeriksa dan memutus sengketa ini, sebab surat Tagihan
susulan Opal No. 5019/832/Bikeu/1990 merupakan keputusan Badan TUN yang
melalui ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN
merupakan kewenangan Badan Peradilan TUN.
Dalam perkara Jakoeboes Musa v. Washika Jayanata cs, No. 3317
K/PDT/1995 (1996), Mahkamah Agung R.I. berpendapat bahwa menduduki tanah yang
sudah dijual, adalah Perbuatan Melawan Hukum. Perkara ini bermula dari gugatan
Penggugat, Washika Jayanata menggugat Jakoeboes Musa dengan alasan bahwa
Pengggugat adalah sebagai pemilik bangunan di Sidoarjo dan bangunan tersebut
dijadikan jaminan atas kredit yang diperoleh PT. Panca Suryanata dari BRI Cabang
Sidoarjo. Pada bulan Desember antara Penggugat dan Tergugat I telah dicapai kata
sepakat bahwa kredit itu dialihkan dan bangunan tersebut dialihkan dengan hak
membeli kembali oleh Penggugat. Mahkamah Agung berpendapat apabila Penggugat
tidak dapat membuktikan bahwa telah diperjanjikan bahwa Penggugat berhak membeli
kembali tanah yang telah dijualnya, maka gugatan Penggugat harus ditolak dan
perbuatan Penggugat yang masih menguasai objek sengketa yang telah dijualnya
tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum yang merugikan Tergugat. Pemakaian
atau penggunaan perumahaan adalah sah apabila ada persetujuan dari pemilik. Perkara yang menarik adalah Time Incorporation Asia cs. v. H.M. Soeharto,
No. 273 PK/PDT/2008. Dalam perkara ini mantan Presiden Soeharto telah menggugat
Time Megazine karena majalah tersebut menurut Penggugat telah memuat berita yang
tidak benar dan mencemarkan nama baik Penggugat. Bahwa menurut Penggugat,
Tergugat cs tidak dapat membuktikan kebenaran tulisan dan gambar yang mengandung
penghinaan dan pencemaran nama baik Penggugat. Dalam putusan Peninjauan Kembali
(PK) perkara ini Mahkamah Agung berpendapat, alasan PK dapat dibenarkan, oleh
karena dalam putusan yang dimohonkan PK terdapat kekeliruan yang nyata dengan
pertimbangan sebagai berikut kriteria perbuatan melawan hukum yang dipakai oelh
judex juris adalah kriteria perbuatan melawan hukum pada umumnya (Pasal 1365 KUH
Perdata), yaitu melanggar atas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian, padahal dalil
gugatan Penggugat didasarkan pada gambar di tulisan Tergugat yang mengandung
penghinaan dan pencemaran nama baik; dengan dalil gugatan Penggugat seperti itu,
Hakim seharusnya tidak memakai kriteria Pasal 1365 KUH Perdata, melainkan
ketentuan khusus Pasal 1372 KUH Perdata, karena konsekuensi kedua ketentuan
tersebut sangat berbeda; tindakan majalah Time (Pemohon PK) tak dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 BW karena
permberitaan majalah Time masih dalam kerangka pelaksanaan tugas jurnalistik, yaitu
dalam melaksanakan fungsi sosial kontrol untuk melindungi kekayaan negara dan
kepentingan nasional pada umumnya.
Judex juris telah mengesampingkan Undang-Undang Pers dalam
mempertimbangkan perkara ini. Dalam menilai suatu pemberitaan pers, harus
mempertimbangkan adanya kepentingan umum, adanya cover both sides, dan adanya
penggunaan hak jawab; apabila ketiga unsur tersebut tidak dipenuhinya di dalam
pemberitaan, barulah dapat dikatakan telah terpenuhi unsur melawan hukum yang
dilakukan pers.
Dari fakta yang terungkap di persidangan terbukti tulisan tentang Termohon PK
yang dimuat oleh Majalah Time pada hakikatnya sesuai dengan inti dan jiwa ketetapan
No. XI/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 tentang pengusutan korupsi, kolusi dan
nepotisme yang dilakukan oleh Termohon PK dan kroni-kroninya; jadi pemberitaan
Time mempunyai unsur untuk kepentingan umum. Sebelum berita dimuat, Pemohon PK
telah melakukan investigasi yang intensif; walaupun Pemohon PK tidak dapat melakukan investigasi dengan Termohon PK dan orang-orang dekatnya, namun
beberapa sumber yang dekat dengan Termohon PK telah memberi keterangan; hal ini
menunjukkan adanya itikad baik dari Pemohon PK untuk melaksanakan tugas-tugas
jurnalistiknya secara proporsional dan melakukan pemberitaan yang bersifat cober both
sides. Pemohon PK telah memuat hak jawab Termohon PK berupa bantahan dari
pengacara Termohon PK yang berjudul “Not One Cent Abroad” yang dimuat dalam 2/3
halaman Time; dengan demikian, Pemohon PK telah melakukan kewajiban hukumnya
menurut Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa pers wajib
melayani hak jawab.
Dari keseluruhan pertimbangan di atas, Mejelis tidak melihat adanya perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Pemohon PK, sehingga putusan judex juris harus
dibatalkan.
Berikut ini adalah Perbuatan Melawan Hukum karena melanggar Pasal 1266 dan
1267 KUH Perdata, bahwa pemutusan secara sepihak suatu perjanjian harus melalui
putusan hakim. Begitu juga, pemutusan hubungan kerja secara sepihak adalah Perbuatan
Melawan Hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964.
Dalam PT. Dua Berlian v. Lee Kum Kee Ltd. No. 1284K/Pdt/1998 (2000),
distributor dapat menggugat produsen berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum karena
produsen memutuskan perjanjian secara sepihak sebelum perjanjian tersebut berakhir.
Pada tahun 1987 dibuat perjanjian antara Lee Kum Kee Co. Ltd. Hongkong dan PT.
Dua Berlian Jakarta, dimana PT. Dua Berlian diangkar menjadi distributor tunggal
untuk saos makanan dengan merek Lee Kum Kee di wilayah Indonesia. Untuk hal
tersebut PT. Dua Berlian mengimport saos makanan itu dengan membuka L/C.
Perjanjian ini berlaku untuk satu tahun dan diperpanjang setiap tahun, yang terkahir dari
15 Januari 1992 sampai Januari 1993. Walaupun perjanjian berakhir Januari 1993,
sebagai distributor PT. Dua Berlian tahun 1993 masih membuka L/C untuk mengimport
saos makanan tersebut dan Lee Kum Kee Ltd. sebagai produsen terus memasok saos
makanan tersebut kepada PT. Dua Berlian sampai bulan Juni 1994.
Pada tahun 1996 terjadi perselisihan melalui surat menyurat, pada akhirnya Lee
Kum Kee Ltd. memutus perjanjian. Kemudian Lee Kum Kee Ltd. mengangkat PT.
Promex sebagai distributor yang baru. Pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh Lee Kum Kee Ltd. pada tanggal 31 Juli 1994 oleh PT. Duta Berlian dianggap sebagai
Perbuatan Melawan Hukum. Alasannya sejak Januari 1993 sampai Juni 1994 telah
terjadi perjanjian secara diam-diam antara kedua belah pihak. Akibat pemutusan secara
sepihak tersebut PT. Duta Berlian mengalami kerugian. PT. Duta Berlian menggugat
Lee Kum Kee Ltd. dan PT. Promex berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum di
Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Tergugat dalam eksepsinya menyatakan bahwa gugatan tersebut salah, karena
berkaitan dengan wanprestasi. Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena
mengakhiri perjanjian secara sepihak dan menunjuk distributor yang lain. Namun
Pengadilan Tinggi Jakarta membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi telah
salah menerapkan hukum. Menurut pertimbangan Mahkamah Agung antara Penggugat
dengan Tergugat terjadi perjanjian diam-diam, karena Penggugat selalu mendapat
kiriman saos makanan dari Tergugat atas pesanannya, maka dapat dianggap perjanjian
tertulis yang terdahulu masih berlaku. Pemutusan secara sepihak perjanjian tersebut
menurut Mahkamah Agung bertentangan dengan kepatutan dan prinsip moral. Begitu
juga telah bertentangan dengan kewajiban hukum Tergugat.
Dalam perkara lain, Kasiadi cs. v. PT. Sido Bangun Pabrik Plastik, No.
1473K/Pdt/1992, Pan Sien Tjiang, Presiden Direktur PT. Sido Bangun Pabrik Plastik
Malang melakukan pengakhiran perjanjian kerja terhadap 22 pegawainya, karena
melanggar peraturan perusahaan. Pengakhiran perjanjian kerja secara sepihak itu
melanggar Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. 4/MEN/1986. Para pekerja menggugat perusahaan dengan alasan pengakhiran kerja
secara sepihak adalah Perbuatan Melawan Hukum. Tergugat mengajukan eksepsi bahwa
masalah ini adalah masuk dalam ruang lingkup P4D dan P4P. Pengadilan Negeri
Malang menyatakan diri tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini karena
menjadi urusan P4.
Pengadilan Tinggi Surabaya dalam tingkat banding menguatkan putusan tersebut.
Namun Mahkamah Agung R.I. dalam tingkat kasasi menyatakan bahwa pemutusan
hubungan kerja oleh Tergugat adalah Perbuatan Melawan Hukum, karena bertentangan
dengan UU No. 12 Tahun 1964. Mahkamah Agung menghukum Tergugat untuk membayar pesangon kepada para Penggugat sebanyak Rp. 5 juta ditambah dengan
tunjangan lain.
Dalam perkara PT. Tempo v. PT. Roche Indonesia, No. 454/Pdt.G/1999/PN.
Jak.Sel. PT. Tempo selaku distributor menggugat PT. Roche Indonesia karena Tergugat
mengakhiri perjanjian distribusi secara sepihak. Sejak tahun 1974 Penggugat adalah
distributor dari Tergugat untuk barang-barang Tergugat di Pasar Indonesia. Perjanjian
distribusi diperbarui beberapa kali. Pada tanggal 9 Desember 1996 perjanjian baru
menyatakan Tergugat mengangkat Penggugat sebagai distributor di Indonesia untuk
waktu yang tidak ditentukan.
Namun demikian Penggugat mengakhiri perjanjian distribusi tersebut secara
sepihak tanggal 31 Agustus 1999. PT. Tempo menggugat PT. Roche Indonesia di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tergugat dalam eksepsinya menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa perkara ini karena dalam
perjanjian distribusi para pihak memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa.
Namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya menyatakan bahwa
Tergugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena memutus perjanjian secara
sepihak. Penggugat tidak mengajukan banding tapi melakukan perdamaian dengan
Tergugat, sehingga putusan Pengadilan Negeri tersebut mempunyai kekuatan hukum
tetap.

Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa

Penguasa juga dapat melakukan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diuraikan dalam perkara-perkara berikut ini.
Dalam perkara-perkara yang diuraikan di bawah ini Mahkamah Agung
berpendapat tidak selalu penguasa melakukan perbuatan melawan hukum karena
kebijaksanaan penguasa tidak dapat digugat. Namun ada tindakan penguasa dianggap
sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
Dalam perkara Bok Kromoredjo v. Djopawiro, No. 319 K/SIP/1968 (1970),
Mahkamah Agung berpendapat, Pengadilan Negeri tidak berwenang menilai tindakan
Pemerintah Daerah mengenai tanah yang berada di bawah pengawasannya, kecuali
kalau tindakan itu melanggar peraturan hukum yang berlaku atau melampaui batas
wewenangnya. Dalam perkara antara Haji Ali Benderun Bin Abdullah v. Pemerintah R.I c.q.
Perwakilan Departemen Agama c.q. Jawatan Urusan Agama Provinsi Kalimantan
Selatan, No. 643 K/SIP/1973, Mahkamah Agung menyatakan surat keputusan kepala
Kantor Urusan Agama Provinsi yang mencabut kembali surat keputusan yang keliru
tentang pengangkatan Penggugat sebagai pegawai P3 NTR adalah sah dan tidak
melawan hukum.
Sebaliknya dalam perkara Ny. Masropah v. Amin Wijaya dan Negara R.I. c.q.
Pemerintah R.I c.q. Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Agraria, No.
1080 K/SIP/1973 (1976), Mahkamah Agung berpendapat, perbuatan Menteri Dalam
Negeri/Direktur Jenderal Agraria yang membuat surat keputusan mencabut sertifikat
hak milik seseorang yang menjadi pihak dalam perkara dan belum mempunyai kekuatan
hukum pasti adalah perbuatan melanggar hukum. Surat keputusan tersebut adalah batal
demi hukum.
Selanjutnya pada tahun 1976 dalam perkara Eddy Hans v. Walikota Kepala
Dareah Kotamadya Surabaya cs, No. 1477 K/SIP/1975, Mahkamah Agung
berpendapat, karena pembatalan SIP oleh Tergugat II (Kepala Kantor Urusan
Perumahan) dilakukan berdasarkan wewenang yang diberikan kepadanya oleh PP No.
49/1963, tidaklah terbukti bahwa Tergugat tersebut telah melakukan perbuatan yang
melawan hukum.
Dalam perkara lain Pemerintah Kotamadya Bandung dan R. Soejogo v. Jim
Espana dan Pemerintah R.I cs., No. 1159 K/SIP/1978 (1980), Mahkamah Agung
berpendapat, bahwa layak tidaknya penyediaan akomodasi rumah pengganti pada
asasnya merupakan kebijaksanaan (beleid) Pemerintah Daerah c.q. Kantor Urusan
Perumahan, dan hal itu tidak tunduk pada penilaian hakim Pengadilan.
Kebijaksanaan Penguasa Tidak Dapat Digugat
Mahkamah Agung menegaskan bahwa perbuatan kebijaksanaan penguasa tidak
termasuk kompetensi pengadilan untuk menilainya. Dalam rumusan akhir lokakarya
tahun 1977 ditambahkan kecuali ada unsur “willekeur” dan “detournement depouvoir”.
Yang dimaksudkan kebijaksanaan, adalah, terjemahan konsep “beleid” dalam bahasa
Belanda, Kebijaksanaan penguasa tidak digugat didasarkan atas prinsip
“beleidsvrijheid” yang ada pada penguasa. Beleidsvrijheid penguasa meliputi : tugas12
tugas militer, polisional, hubungan luar negeri, pekerjaan untuk kepentingan umum,
keadaan yang tidak dapat diduga terlebih dahulu dalam mengambil tindakan darurat.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung, tanggal 25 Pebruari 1977, No.
MA/Pemb/0159/77 diserukan kepada ketua Pengadilan Negeri dan ketua Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia. “agar … dalam mengadili perkara di mana Pemerintah
digugat melakukan perbuatan melanggar hukum hendaknya mengadakan keseimbangan
antara perlindungan terhadap perseorangan (individu) dan terhadap kepentingan
persekutuan seperti penguasa …”. Apakah ini yang dimaksudkan dengan kepatutan
dalam masyarakat yang harus diperhatikan oleh penguasa.6
Saya membuat tulisan panjang sebagai reaksi atas Surat Edaran Mahkamah
Agung tersebut 33 tahun yang lampau.7
Keputusan Gubernur DKI Jaya 11 Desember 1968 memerintahkan agar
ruangan-ruangan sengketa rumah Jalan Gajah Mada No. 9 yang disewa oleh W.
Josopandojo (Penggugat) harus diserahkan kepada Ali Husin Tajibally (Tergugat II),
dengan alasan ruangan tersebut dipergunakan untuk tempat usaha yang seharusnya
untuk tempat tinggal. Hal itu menyebabkan Pemerintah DKI Jaya digugat dengan alasan
perbuatan melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad).8
Disebutkan oleh Penggugat, bahwa dipandang dari sudut asas fungsi sosial dari
suatu hak milik di Indonesia, Penggugat dengan 12 anggota keluarganya lebih
membutuhkan ketiga ruangan tersebut dari pada Tergugat II yang masih mempunyai
lain-lain rumah dan pula ia masih belum kawin.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No. 216/1969 G 25 Oktober
1969 mengabulkan gugatan tersebut dengan menyatakan Pemerintah DKI Jaya selaku
Tergugat I telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Pengadilan memutuskan pula
mengangkat penyegelan yang dilakukan Tergugat I. Sebagai pertimbangan antara lain,
bahwa Tergugat I tidak menghiraukan Pasal 10 PP No. 49/1963 tentang pertimbangan
ekonomi dan keadilan sosial. Oleh karena itu Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan
Penggugat untuk sebagian, kecuali mengenai tuntutan ganti rugi. Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding 7 September 1970 menguatkan putusan Pengadilan
Negeri tersebut. Ditambahkan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa jalan di mana
rumah terletak adalah untuk pertokoan tidak khusus untuk perumahan dan Penggugat
sebelum 1942 telah menempati rumah tersebut bukan berdasarkan SIP tetapi
berdasarkan sewa menyewa tanpa batas waktu.
Kemudian dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung dengan putusannya No.
838K/Sip/1970 telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri
tersebut. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan :
1. bahwa judex-facti telah salah mengetrapkan Pasal 10 PP No. 49/1963 di atas dengan
menganggap bahwa Penggugat masih menggunakan secara layak rumah yang
disewanya walaupun telah disewakan secara di bawah tangan dan menjadikan
ruangan-ruangan sengketa untuk usaha di bidang perdagangan dan jasa-jasa;
2. bahwa soal perbuatan melanggar hukum oleh Penguasa harus diukur dengan UU,
peraturan-peraturan formal yang berlaku (khususnya undang-undang dan peraturanperaturan
tentang perumahan) dan kepatutan dalam masyarakat, yang dalam hal ini
semua tidak ada yang dilanggar oleh Kepala Daerah (Tergugat I);
3. bahwa penilaian tentang faktor sosial ekonomi dari penyewa dan pemilik adalah
wewenang Kepala Daerah sebagai Penguasa dan harus dianggap sebagai perbuatan
kebijaksanaan penguasa yang tidak termasuk kompetensi Pengadilan untuk
menilainya, kecuali kalau wewenang tersebut dilakukan dengan melanggar undangundang
dan peraturan formal atau melewati batas kepatutan dalam masyarakat yang
dalam perkara ini tidak terbukti adanya;
4. bahwa judex - facti telah keliru menetrapkan hukum dengan tidak membedakan
perbuatan-perbuatan Penguasa yang berupa “tindakan kebijaksanaan penguasa”
dengan perbuatan melanggar hukum oleh Penguasa.
Pertimbangan-pertimbangan hukum dalam yurisprudensi tersebut di atas oleh
Surat Edaran Mahkamah Agung telah dibandingkan dengan keputusan Hoge Raad di
Negeri Belanda dalam perkara Ostermann (Oestermann Arrest HR 20 Nopember 1924).
E. Ostremann seorang pedagang mewakili firma E. Oestermann & Co di
Amsterdam telah menggugat Pemerintah Belanda di Den Haag. Oestermann merasa
dirugikan, karena barang-barang ekspornya tak dapat dikirim, sebab pejabat-pejabat
yang bersangkutan dengan pengisian pernyataan untuk dapat dikirimkannya barang14
barang tersebut menolak untuk mengisi surat-surat yang diperlukan. Pemerintah
Belanda digugat atas dasar perbuatan melanggar hukum.
Mahkamah Agung dalam surat edarannya kepada Hakim-hakim Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa perumusan dalam putusan MA No.
838K/Sip/1970 dapat disejajarkan dengan Oestermann Arrest, yang masih menekankan
perlindungan perseorangan (individu) terhadap kepentingan persekutuan seperti
penguasa.
Perumusan “perbuatan melanggar hukum” oleh Penguasa menurut Surat Edaran
MA tersebut di Negeri Belanda sendiri telah mengalami perubahan-perubahan.
Keputusan dalam “Oestermann Arrest” banyak mendapat kritik. Di samping itu
yurisprudensi di Negeri Belanda sendiri mengenai tanggung jawab negara dalam hal
kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan atau kelalaiannya ternyata juga tidak tetap.
Sebagai contoh adalah pertimbangan Hoge Raad dalam Strooppot Arrest 1928
G. Rijsdjk pedagang di Zwijndrecht telah menggugat Pemerintah Belanda, karena
pekerjaan peninggian dan penutupan dengan cara demikian rupa sehingga kanal
Strooppot menjadi dangkal. Hal tersebut mengakibatkan Penggugat tidak dapat
mempergunakan Strooppot sebagai alur pelayaran menuju perusahaan perkapalannya.
Menurut Surat Edaran MA terdapat empat unsur dalam pengertian perbuatan
melanggar hukum sesudah tahun 1919, yaitu :
1. Pelanggaran terhadap hak subyektif dari orang lain.
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri.
3. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik.
4. Bertentangan dengan kepatutan yang ada dalam masyarakat.
Maka Strooppot Arrest juga mengeluarkan dua unsur terakhir dalam pengertian
tersebut, sehingga unsur bertentangan dengan kesusilaan yang baik dan kepatutan yang
ada dalam masyarakat tadi tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh Penguasa.
Pertanyaan yang menggoda dan dapat disalah tafsirkan terutama oleh orang
awam adalah, apakah dengan demikian penguasa dapat bertindak bertentangan dengan
kesusilaan yang baik dan kepatutan yang ada dalam masyarakat? Jelas bukan hal itu
yang dimaksudkan Mahkamah Agung. Surat Edaran tersebut dikeluarkan seakan-akan
karena empat hal:
1. banyaknya gugatan terhadap Pemerintah dengan dasar perbuatan melanggar hukum
oleh Penguasa;
2. gugatan itu timbul karena kerugian-kerugian yang diderita oleh individu-individu
disebabkan tindakan-tindakan Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
3. padahal tindakan-tindakan Pemerintah tersebut adalah untuk kepentingan umum;
4. perlu keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.
Gugatan Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa antara lain disebabkan oleh
penahanan sewenang-wenang atas diri seseorang atau tindakan sewenang-wenang atas
milik individu seperti tanah dan bangunan. Tampaknya Surat Edaran MA tersebut
ditujukan kepada hal yang terakhir. Akan tetapi beberapa kasus menunjukkan bahwa
sengketa bukanlah mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan umum, tetapi berkisar kepada penafsiran definisi “kepentingan umum”,
besarnya ganti rugi atas tanah dan bangunan yang terkena proyek dan cara-cara
Pemerintah melaksanakan kehendaknya. Ternyata juga Pengadilan dalam memutus
perkara-perkara semacam itu, mempunyai keputusan yang tidak sama.
Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur dalam putusannya pada perkara
Sorituan Harahap v. Yayasan Pulo Mas9 menyatakan, bahwa perumahan yang akan
dibangun oleh Tergugat I, walaupun sesuai dengan peruntukkan rencana Pemerintah
DKI, tidaklah dapat diartikan sebagai demi “kepentingan umum” menurut UU No.
20/1961 jo. lampiran pedoman pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dan benda-benda
yang ada di atasnya (Instruksi Presiden RI No. 9/1973).
Sebagai alasannya Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa bila bangunan rumah
sudah selesai kelak akan dijual kepada umum secara perdagangan dalam arti
perhitungan untung rugi. Ditambahkan lagi, bilamana rumah sudah dijual, kepada
pembeli diperkenankan memperoleh hak atas tanah.
Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding telah membatalkan keputusan
Pengadilan Negeri tersebut, dengan pertimbangan bahwa penguasaan tanah oleh
Pemerintah DKI Jaya atas dasar SK Menteri Pertanian dan Agraria No. SK VI/ 9/Ka/64
10 April 1964 adalah sah dan Yayasan Pulo Mas telah diberi wewenang sepenuhnya
oleh Pemerintah DKI Jaya. Berdasarkan hal itu Pemerintah DKI Jaya mempunyai
wewenang meliputi pengosongan tanah dan bangunan-bangunan yang ada di atasnya dan bagi mereka yang meninggalkan tanah dan bangunan itu Pemerintah telah
menyediakan tempat penampungan disertai biaya pindah.
Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI telah membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi tersebut dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri sebelumnya.
Sebagai pertimbangannya antara lain disebutkan bahwa penguasaan tanah dan bangunan
seperti yang dimaksud dalam SK Menteri Pertanian dan Agraria No. SK/9/Ka/64 pada
hakekatnya adalah pencabutan hak. Keputusan Menteri tersebut harus segera diikuti
dengan Keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan untuk
melakukan pencabutan hak itu (Pasal 6 ayat 2 UU No. 20/1961). Keputusan Presiden
yang dimaksud mengenai hal ini, yang mana adalah suatu keharusan/syarat mutlak,
tidak pernah dikeluarkan. Namun demikian dalam perkara ini, baik Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung menolak gugatan Penggugat agar supaya
Tergugat I dan II membayar ganti rugi Rp. 20 juta atas pelanggaran hukum. Pengadilan
berpendapat, bahwa kerugian tersebut tidak terbukti.
Bandingkanlah perkara ini dengan “kasus hotel “Yen Pin”, di mana dengan
suatu Keputusan Presiden telah dilakukan pencabutan hak atas tanah dan bangunan
hotel tersebut untuk suatu pern bangunan proyek baru.
Kasus-kasus tersebut di atas dapat kita bandingkan lagi dengan perkara
Nungtjik Djahri Cs v. Gubernur DKI Jaya cq Walikota Jakarta Timur10 mengenai
tanah untuk terminal bus Pulo Gadung. Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam
putusannya 6 Januari 1976 mempertimbangkan, bahwa keberatan Penggugat atas
tindakan Kamtib melakukan pembongkaran milik para Penggugat dapat dirasakan, jika
tidak ada alasan-alasan mendesak tentunya melalui proses hukum sebagaimana
mestinya. Atau sebaliknya tidak dapat meniadakan kepentingan umum yang sangat
mendesak penyelesaian dan pelaksanaannya dalam rangka pembangunan terminal bus
yang sungguh-sungguh merupakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Dalam perkara ini Pengadilan menolak tuntutan ganti rugi dari para Penggugat
sehubungan dengan perbuatan Kamtib tersebut, dengan alasan tambahan bahwa bahanbahan
bangunan tersebut, masih tetap menjadi milik Penggugat. Mengenai ganti rugi
atas tanah dan bangunan, Pengadilan berpendapat bahwa meningkatnya harga tanah di
sekitar tempat tersebut tidaklah dapat dilepaskan dari usaha Tergugat baik langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan Ibu kota yang sangat mempengaruhi harga
tanah. Karenanya bilamana tanah semula tidak ada harganya mendadak menjadi
berharga haruslah diterima sebagai suatu kenyataan oleh Penggugat, tetapi tentunya
tidak boleh hanya membawa atau pun dianggap sebagai manfaat bagi dirinya secara
sepihak. Pengadilan menetapkan harga ganti rugi atas tanah dan bangunan sebagaimana
diputuskan oleh Tergugat, yaitu Rp. 2025/m2dan ganti rugi untuk rumah permanen Rp.
15.000,00 /m2, semi permanen Rp 10.000,00/m2 dan gubug Rp. 6.000,00 /m2.
Kasus-kasus tersebut dan dari kasus-kasus lainnya seperti sengketa Proyek
Senen menunjukkan, bahwa pihak Penguasa belum pernah diperintahkan membayar
ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum. Ganti rugi yang ditetapkan Pengadilan
adalah untuk pengganti tanah dan bangunan yang terkena proyek. Dapat disimpulkan
bahwa definisi “kepentingan umum” dapat dibagi dalam dua pengertian:
1. Langsung untuk pelayanan masyarakat semata-mata, yang hampir seluruhnya
diselenggarakan oleh Pemerintah tanpa menghitung untung rugi.
2. Pelayanan masyarakat dalam rangka peningkatan pembangunan yang
pelaksanaannya diserahkan kepada sektor swasta dengan dorongan pemerintah.
Unsur untung rugi adalah dominan.
Dengan demikian dapatlah dibedakan proyek untuk kantor Departemen
Pemerintah dengan gedung perkantoran swasta, Puskesmas dengan poliklinik swasta,
asrama dengan hotel, pasar Inpres dengan Super Market, jalan, jembatan, perumahan
pegawai dengan suatu kompleks perumahan real estate, tanah-tanah untuk perkebunan
swasta dengan tanah-tanah untuk transmigran. Adalah tidak adil jika dalam proyekproyek
yang di dalamnya unsur untung rugi dominan, akhimya keuntungan hanya
dikecap oleh sekelompok orang (pengusaha) dengan mengorbankan pihak lainnya.
Peraturan Perundang-undangan tidak membedakan dua kategori tersebut di atas.
Pasal 2 Undang-Undang No.20/1961 menetapkan proyek-proyek yang dapat
dimasukkan dalam kategori kepentingan umum yaitu proyek di bidang Pertahanan,
Pekerjaan Umum, pelayanan umum, jasa umum, keagamaan, ilmu pengetahuan, seni
budaya, oleh raga, keselamatan umum, pariwisata, rekreasi dan usaha-usaha ekonomi
yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum, (pasal 1), dengan syarat proyek-proyek
tersebut sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah mendapat persetujuan
DPRD. Kelemahan dari tidak dibedakannya ganti rugi untuk proyek-proyek Pemerintah
dan swasta telah diimbangi oleh Peraturan Perundang-undangan dengan ketentuanketentuan
:
1. Ganti rugi atas dasar musyawarah dan harga umum se-tempat (Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 15/1975 dan No. 2/1976).
2. Bagi mereka yang harus pindah karena terkena proyek, harus disediakan tempat
permukiman baru (pasal 13 PMDN No.15/1975).
3. Tetap memungkinkan yang bersangkutan menjalankan kegiatan usahanya/mencari
nafkah kehidupan yang layak seperti semula (Undang-Undang No. 20/1961).
Jika ketiga batasan tersebut diterapkan sesuai dengan kata-kata dan jiwanya,
keseimbangan antara perlindungan perseorangan (individu) dan terhadap kepentingan
umum jelas dapat tercapai.
Tetapi dalam prakteknya oknum-oknum Pemerintah ataupun swasta yang
diserahi tugas berpacu dengan waktu dan kepentingannya sendiri. Apalagi dalam
keadaan di mana ada kemungkinan penguasa jadi pengusaha atau sebaliknya pengusaha
merasa dirinya penguasa. Pada titik inilah peranan hukum jadi amat penting, harus lebih
hati-hati dan waspada untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dan
individu.
Dalam posisi penguasa jadi pengusaha atau pengusaha jadi penguasa, tindakan
oknum-oknum cenderung menimbulkan hal yang bertentangan dengan kepatutan yang
ada dalam masyarakat, bahkan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adalah sulit untuk membuktikan kerugian akibat sikap yang bertentangan
dengan kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, yang tidak menimbulkan kerugian
materiil langsung. Sukar untuk menuntut ganti rugi, karena seorang petugas Kamtib
hanya marah-marah dan mengancam akan membongkar bangunan pemilik. Berlainan
jika petugas tersebut langsung merobohkannya sehingga kerugian materiil jelas timbul.
Namun demikian kita sebagai pejabat haruslah tetap bertindak dalam batas-batas
kesusilaan dan kepatutan yang ada dalam masyarakat, sebab ia merupakan titik awal
memupuk kesadaran hukum masyarakat, keadilan serta perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia.
Bahwa soal perbuatan melanggar hukum oleh Penguasa di samping harus diukur
dengan undang-undang, peraturan-peraturan formal yang berlaku, juga harus tetap
diukur dengan batas kepatutan dalam masyarakat. Sejauhmana batas-batas kepatutan
dalam masyarakat itu, haruslah ditinjau kasus demi kasus. Seandainya Mahkamah
Agung ingin menciptakan perumusan baru, dapatlah dikemukakan dalam suatu
yurisprudensi, tidak dalam bentuk Surat Edaran kepada para hakim. Permintaan pihak
atasan dalam masyarakat kita cenderung oleh bawahan dianggap sebagai perintah.
Dengan demikian isi Surat Edaran tersebut ditafsirkan dapat mempengaruhi kebebasan
hakim dalam memutuskan perkara. Sebaliknya adalah tepat jika Mahkamah Agung
meminta kepada para hakim untuk mempercepat proses perkara-perkara gugatan kepada
penguasa sehubungan dengan proyek-proyek pembangunan. Sebagaimana proyek
dikejar oleh waktu, para penghuni yang akan atau terkena penggusuran juga tidak tahan
terlaiu lama dalam ketidakpastian penyelesaian ganti rugi.
Khususnya dalam masalah ganti rugi, penyelesaian tidak bisa dilakukan dari segi
yuridis saja, tetapi juga dari sudut ekonomi, karena pembangunan itu sendiri tidak
bermaksud untuk menambah lebar jarak antara si kaya dan si miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar